Sunday 18 September 2011

Jawaban dari bintang - bintang

Di suatu pagi cukup cerah, sekitar pukul enam pagi, aku mengayuh sepedaku dengan santai. Wanginya embun dan kicau burung menemani perjalananku ke sekolah. Langit belum terlalu terang, tapi venus dan Bulan yang belum menghilang turut menemani perjalananku pagi ini. Dan sebuah pemikiran muncul di benakku

Setelah menjalani kehidupan dua belas tahun sekolah, orang dewasa selalu menanyakan “kemana kau akan masuk sekolah?” atau “apa mimpi yang kau punya di masa depan?”

Tapi aku,Rion , hanya menawab “aku tak tahu” atau “aku belum menentukannya”. Itu bisa dibilang normal jika memimpikan untuk masuk sekolah terkenal maupun bekerja di perusahaan bagus. Itu yang dibilang dengan menjalani hidup “normal”

Jika aku memasuki perusahaan , aku hanya berada di bawah orang dengan nilai-nilai tinggi dan rangking yang bagus. Dan aku rasa sistem ranking seperti itu akan terus berlanjut dalam sebuah sistem yang bernama sekolah.

Tapi tak ada pilihan lain bagiku. Itulah kenapa aku selalu menuju ke sekolah.

Akhirnya aku sampai di sekolah, duduk di barisan ketiga dari depan, bukan posisi yang bagus juga, tapi setidaknya, aku dapat melihat papan tulis dengan jelas meskipun aku tidak terlalu mengerti.

Sudah sepuluh menit berlalu sejak bel berbunyi, tanda-tanda kedatangan guru pun belum nampak. Akupun mulai berpikir tentang masa depan.Sekarang aku sudah menduduki kelas tiga SMA dan aku memikirkan apa pekerjaanku nanti. Yang kutahu, orang tuaku berangkat pagi-pagi sekali ke kantor untuk bekerja dan pulang jam 4 sore dari perusahaannya. Itukah yang dinamakan bekerja? Akupun sangat yakin aku tak tahan dengan sesuatu yang seperti itu. Tapi bagaimana lagi. Itulah yang dikatakan dengan hidup normal oleh orang-orang kebanyakan.

“Selamat pagi Anak-anak. Maaf ibu agak terlambat. Supaya tidak membuang waktu langsung saja kita mulai pelajaran Matematika kita pagi ini. Buka buku ananda hal dua puluh lima”

Aku pun langsung mengambil buku, meskipun agak malas untuk belajar pagi ini. Aku tak terlalu suka sekolah, aku termasuk anak yang kemampuannya biasa-biasa saja. Aku tak pernah mendapatkan rangking sepuluh besar.

“Betapa menyedihkan” ucapku pada diriku.

Bel pulang berbunyi. Ternyata sudah tujuh jam aku berada disini. Dan jujur. Tak ada satupun pelajaran yang aku mengerti. Karena sebagian besar waktu di sekolah tadi kuhabiskan untuk tidur. Aku memang kurang tidur karena malam sebelumnya aku dan beberapa orang temanku begadang hingga jam empat pagi. Sehingga aku hanya punya kesempatan untuk tidur Cuma 1,5 jam. Aku begadang bukan karena melakukan hal yang tidak penting. Kemarin malam adalah puncak hujan meteor Lyrids. Dan kemarin aku melihat hingga 20 meteor per jam.

Ya. Jika ditanya tentang hobiku. Aku memang tergila-gila dengan astronomi, melihat langit di malam hari, menanti meteor maupun komet, dan berandai-andai suatu saat melepaskan diri dari gravitasi bumi maupun “gravitasi” sekolah yang selalu mengikatku. Ada ketenangan tersendiri saat melihat langit malam dan cahaya bintang. Saat bumi terbungkus oleh selubung kegelapan malam, bintang memancarkan cahayanya. Dan hal yang kubenci dari langit adalah awan. Yang selalu menghalangi padnanganku setiap aku melihat langit. Setiap ada kesempatan dan langit cerah, aku selalu membawa teleskop kecilku menuju lapangan maupun bukit terdekat untuk menanti bintang berekor melitasi langit. Dan jika aku ditanya tentang Astronomi, pengetahuanku sudah cukup banyak. Dan aku rasa tak ada hal lain yang dapat aku banggakan selain ini.

“Hoi!” sebuah suara memanggilku

“hah? Ya? Ada apa?” balasku santai

“Apa kau berminat kerumahku nanti malam untuk membuat PR matematika bersama? Zen, Hazel dan Near juga datang” kata west

“Hmm... nanti malam ya? Melihat meteor Lyrids untuk kedua kalinya masih lebih berharga daripada harus membuat PR matematika. Kau mau ikut denganku West?” jawabku dengan enteng seolah PR matematika adalah sebuah hal yang sepele

“Ha? Jadi bagaimana dengan PR mu? “ jawab West

“PR? Kita lihat besok, apakah akan aku buat atau tidak. Aku pulang dulu ya. Sudah sore” jawabku

“Dasar! Astronomi Freak!” Sorak West kepadaku.

Aku tak peduli, aku tetap berlalu. Berjalan menuju gerbang. Saat aku melihat ke barat, warna jingga telah menghiasi langit .

Aku mengambil sepedaku dan segera mengayuhnya menuju rumah. Rumaku kira-kira berjarak 3 km dari sekolah. Jarak yang tidak terlalu jauh untuk ditempuh dengan sepeda. Di perjalanan pulang. Cahaya Venus menjadi satu-satunya benda langit yang dapat kulihat dengan jelas.

Sesampainya di rumah akupun segera mandi dan mempersiapkan diri untuk pengamatanku malam ini. Menyiapkan camilan, tikar kecil, kamera dan membawa teleskopku satu-satunya menuju lapangan dekat rumah. Disana 3 orang temanku yang memang rumahnya berdekatan denganku telah menanti. Pukul 9 kami mulai mengamati langit. Menunggu hujan meteor datang. Namun sayangnya, awan berarak dari arah barat menuju timur sehingga menghalangi pandangan kami.

“wah, awannya nyari masalah nih” ucap Kiel dengan ketus

“Sabar, kita tunggu saja awannya Cuma lewat tu, awan bukanlah penghalang bagi kita” jawabku dengan santai

Kamipun menunggu, sambil bermain handphone, ngobrol tentang astronomi maupun masalah pribadi sembari mengambil camilan yang telah ada. Angin dingin maupun serangan nyamuk tak menyurutkan kami sang “Meteor Hunter”

Setelah menunggu selama 3 jam, jam 12 malam. Satu meteor melintasi azimuth kami.

“Hooiiii... itu ada satu!” Tunjuk Ben sambil berteriak

Kamipun langsung melihat ke arah yang ditunjukkan Ben. Ternyata memang benar, sebuah meteor bersinar dengan cahaya birunya melintas dengan cepat. Akupun segera mengabil kamera dan mengabadikannya. Masalah memotret meteor, aku sudah mempelajari ini sebelumnya. Jadi tak ada masalah lagi.

Jam telah menunjukkan pukul 4 pagi. Sudah saatnya kami pulang. Hari ini kurang beruntung, kami hanya melihat 2 meteor dikarenakan gangguan awan. Tapi kami tetap bangga karena acara malam ini ada hasilnya juga.

Sesampai di rumah, kasur telah melambai-lambai memanggilku untuk segera memejamkan mata. Tak sampai 1 menit. Akupun tertidur.

Jam 6 pagi. Akupun bangun dan mempersiapkan diri mengikuti kegiatan yang kuanggap membosankan yang disebut sekolah.Setelah mandi dan sarapan, dengan mata yang amsih mengantuk, akupun mengayuh sepedaku dengan santai menuju sekolah.

Tak ada yang spesial di sekolah hari ini. Semua berjalan seperti biasa, dan aku selalu mencuri waktu untuk tidur di kelas. Dan seperti biasanya lagi, tak ada guru yang tahu dan menegurku.

Namun ada yang menarik perhatian ku di mading pada hari ini. Pada saat bel pulang berbunyi aku berjalan menuju lobi. Dan saat melewati mading, sebuah pamflet berukuran 4 kali kertas HVS yang berlatar belakang langit malam benar-benar menarik perhatianku. Dan disana tertulis Bagi siswa-siswi SMA se derajatyang berminat untuk belajar di AATS(Astronomers and Astronaut Training School) dapat mendaftarkan dirinya melalui sekolah. Akan ada beberapa tes sebelum anda bisa diterima di sekolah ini. Biaya pendidikan gratis!

Mataku pun langsung berbinar-binar. Dan langsung berandai-andai jika aku dapat memasuki sekolah ini, aku dapat bebas dari yang namanya pelajaran membosankan dari sekolah. Dari PR dan dari segal hal yang kubenci. Namun sayangnya. Begitu membaca kalimat selanjutnya yang berbunyi Hanya menerima 10 orang murid dari tiap negara. Tes akan berlangsung selama 6 bulan, dan selama jangka waktu tersebut, anda tidak diperbolehkan menuntut ilmu di sekolah

Membuatku berfikir 2 kali, apakah aku harus mengorbankan kehidupanku yang sekarang. Kalau dihitung-hitung. Rangking maupun nilaiku sekarang masih bisa menjaminku untuk bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan bagus. Karena sekolahku ini termasuk sekolah yang ternama di kota ini. Dan apakah aku rela untuk mengorbankan semua ini hanya untuk mendapatkan sebuah ketidakpastian. Untung-untung kalau lulus. Kalau gagal, aku terpaksa menunda kelulusanku selama satu tahun. Dan itu bukanlah hal yang bagus. Ya, itu buruk.

Tetapi, jauh di dalam hatiku aku sangat menginginkan itu, menimba ilmu astronomi sepenuhnya di sekolah khusus dan masa depan pun terjamin. Namun tetap, aku masih ragu, apa kata orang tua maupun teman-temanku.

Akhirnya aku mengambil kesimpulan untuk memikirkan ini matang-matang dan berdiskusi dengan orang tuaku.

*****

Jam menunjukkan pukul 19.00 aku langsung mengambil tikar dan menuju lapangan dan segera merebahkan badanku di atas tikar. Aku langsung memikirkan tentang keputusanku. Aku langsung memandang langit yang malam ini memang cerah. Entah kenapa setiap ada masalah aku selalu melakukan ini, seperti bintang itu berbicara padaku, atau memang inilah jalan tuhan untuk memecahkan masalahku. Saat melihat bintang itu, aku merasa tempatku adalah disana,bukan di sekolah seperti sekarang. Setelah memikirkan baik dan buruknya, aku memilih untuk mengikuti tes AATS. Meskipun belum yakin, inilah yang benar-benar aku inginkan. Namun aku ingin mendiskusikannya dulu dengan orang tuaku.

Pukul 20.00. Aku menuju ruang makan. Disana sudah ada ibu dan nenek. Akupun makan 1 piring nasi dengan lahapnya. Dan segera setelah selesai makan

“Bu, aku ingin menjadi astronot” ucapku sambil menundukkan kepala. Aku tak punya wajah untuk menatap ibu

“Ha?! Kau sudah yakin?” tanya ibuku

“Yakin bu, dan aku akan bersekolah di AATS sebelum menjadi astronot” jawabku lagi

“AATS, apa itu?” tanya ibuku dengan heran

Akupun segera menjelaskan tentang yang kubaca tadi dengan detail. Dan setelah itu

“Ibu tidak setuju! Ibu tak mau kau mengorbankan mendidikanmu nak” jawab ibuku

“Aku sudah menyangka ini akan terjadi” ucapku dalam hati

“Tapi, coba tanyakan pada ayahmu dulu” ucap ibuku

“Baiklah” jawabku dengan lesu.

Sepertinya jawaban ibu akan sama dengan jawaban ayah. Dan akupun tak berharap banyak.

“Tok tok tok”

Ada yang mengetuk pintu kamarku. Itu sepertinya ayah. Segera saja kubuka pntu dan langsung kuutarakan tentang niatku ini.

Lalu ayah menjawab “Apakah itu memang benar-benar keinginanmu?” tanya ayah

“iya yah” jawabku

“Aku mendukungmu nak, Kalau itu memang keinginanmu, jalanilah, yang akan menjalani bukan aku ataupun ibumu, tapi kau.Aku sebenarnya sangat berat untuk melepasmu, tapi bagaimana lagi, aku tak bisa menghalangi jalanmu, Jadilah dirimu sendiri, lakukan apa yang kau suka, ini jalan yang kau pilh bukan?” ucap ayah dengan bijaksana

Aku sangat lega, tak kusangka jawaban ayah akan seperti ini, ayah memang bijaksana menurutku

“Tapi bagaimana dengan ibu yah?” ucapku khawatir

“Oh ibumu, tadi dia sudah bicara dengan ayah. Jangan khawatir. Ibumu biar ayah yang menjelaskannya” jawab ayah.

Setelah mendengar itu aku langsung menuju kamar dan segera tidur.

Pagi telah datang. Tanpa membuang-buang waktu akupun langsung menuju sekolah dan segera mendaftarkan diri. Aku menuju ruang tata usaha untuk mencari informasi. Dan pertama aku diminta untuk meminta izin kepala sekolah dulu. Dan akupun menjalani proses administrasi dengan lancar. Tak ada masalah yang berarti. Minggu depan, aku diminta untuk segera menuju ibukota. Tanpa dikomando, satu minggu ini kuhabiskan untuk belajar di rumah.

Satu minggu berlalu, dan aku telah berada di ibukota. Ibukota memang padat. Banyak manusia berlalu lalang di bandara ini. Dan tak lupa, pedagang asongan yang ikut menghiasi bandara ini.

Akupun langsung menuju tempat yang dimaksud. Sesampainya disana , tak kusangka, ada 1000 eh bukan sekitar 3000 orang memadati tempat itu. Dan aku yakin semuanya akan mengikuti test ini. Melihat ini semua aku sempat ragu, hanya sepuluh orang dari 3000 yang akan lulus? Apakah aku termasuk? Pertanyaan itu menghinggapi pikiranku. Dan saat aku telah memasuki lapangannya aku melihat mereka memiliki bakat di bidang ini, aku hanya seperti bintang katai hitam diantara raksasa biru. Namun, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.

*****

Tak terasa 6 bulan berlalu, berbagai tes yang berat telah kulai, mulai dari teori hingga praktek. Dan ada beberapa tes yang tak kulalui dengan mulus.

Sekarang tanggal 1 Maret. Hari ini pengumuman kelulusan diumumkan. Lapangan telah dipenuhi para calon murid. Pengumman hanya dalam 10 helai kertas yang ditempelkan di sepuluh titik. Semua titik telah dipenuhi oleh orang-orang yang penasaran dengan nasibnya selanjutnya, saat menuju ke sebuah tempat pengumman yang tak terlalu ramai, banyak dari mereka yang menangis, menundukkan kepala, dan berbagai ekspresi meyedihkan lainnya, dan jika aku tidak salah hitung, ada sembilan orang yang melonjak dan tersenyum bahagia. Karena sangat penasaran, segera saja aku berlari dan menerobos kerumunan, namun, karena badanku yang termasuk kecil, aku terhimpit diantara orang-orang yang rata-rata memiliki badan besar, saat jarakku hanya sekitar 1 langkah lagi dari papan pengumuman, sebuah hantaman cukup keras menghantam kepalaku. Pandanganku samar-samar, aku kehilangan keseimbangan dan dalam hitungan detik aku akan tergeletak di tanah, namun saat aku jatuh, samar-samar aku melihat inisial “R” di urutan nomor 5. Dan aku tak ingat apa-apa lagi...